TUNANETRA
I. Pengertian dan Klasifikasi
Tunanetra adalah
istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan
atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya
Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai
sisa penglihatan (Low Vision). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tuna netra
dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah
horizontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka
tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti,
perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit
penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang
musik atau ilmu pengetahuan.
Klasifikasi :
1.
Berdasarkan
waktu terjadinya ketunanetraan:
a)
Tunanetra
sebelum dan sejak lahir
b)
Tunanetra
setelah lahir dan atau pada usia kecil
c)
Tunenatra
pada usia sekolah atau pada masa remaja
d)
Tunanetra
pada usia dewasa
e)
Tunanetra
dalam usia lajut.
2.
Berdasarkan
kemampuan daya penglihatan:
a)
Tunanetra
ringan
b)
Tunanetra
setengah berat.
c)
Tunanetra
berat.
3. Berdasarkan pemeriksaan klinik.
4.
Berdasarkan
kelainan-kelainan pada mata:
a)
Myopia;adalah
penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina.
b)
Hyperopia;
adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan
retina.
c)
Astigmatisme;
adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidak
beresan pada kornea mata.
II. Penyebab
a) Pre-natal
(sejak dalam kandungan)
b) Post-natal (sejak
atau setelah kelahiran)
III. Karakteristik
1.
Tunanetra
a.
Fisik
Keadan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak
sebaya lainnya.perbedaan nyata diantaranya mereka hanya terdapat pada organ
penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara
lain: mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah,
gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan sebagainya.
b.
Perilaku
Beberapa gejala tingkah laku pada anak yang mengalami
gangguan penglihatan dini antara lain; berkedip lebih banyak dari biasanya.
menyipitkan mata, tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh. Juga adanya keluhan seperti:
mata gatal, panas, pusing, kabur atau penglihatan ganda.
c. Psikis
ü Mental/Intelektual
Tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan
IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah.
ü Sosial
Kadangkala ada keluarga yang belum siap menerima
anggota keluarga yang mengalami tuna netra sehingga menimbulkan ketegangan/gelisah di
antara keluarga. Seorang tunanetra biasanya mengalami hambatan kepribadian
seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan
ketergantungan yang berlebihan.
2.
Low
Vision
Ciri-ciri antara lain :
a.
Menulis
dan membaca dengan jarak yang sangat dekat
b.
Hanya
dapat membaca huruf yang berukuran besar
c.
Memicingkan
mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba
melihat sesuatu.
IV. Alat Pendidikan
1. Tunanetra
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan
khusus, alat bantu peraga dan alat peraga.
a.
Alat
Pendidikan Khusus :
ü Reglet dan pena
ü Mesin tik Baille
ü Printer Braille
ü abacus
b.
Alat
Bantu
ü Alat bantu
perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
ü Alat
Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c.
Alat
Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang
dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia
, peta timbul).
2.
Low
Vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri
dari alat Bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca mata pembesaran dan alat
peraga.
a.
Alat
Bantu Optik :
ü Kaca mata
ü Kaca mata perbesaran
ü Hand magnifer
b.
Alat
Bantu
ü Kertas bergaris besar
ü Spidol hitam
ü Lampu meja
ü Penyangga buku
c.
Alat
Peraga
ü Gambar yang diperbesar
ü Benda asli yang diawetkan
ü Patung / benda model tiruan
V. Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik
yang dibutuhkan antra lain :
1.
Guru
2.
Psikolog
3.
Dokter
mata
4.
Optometris
VI. Layanan Pendidikan
1.
Jenjang
Pendidikan dan lama pendidikan :
a)
TKKh/TKLB
: 3 tahun
b)
SDKh/SDLB
: 6 tahun
c) SMPKh/SMPLB : 3 tahun
d) SMAKh/SMALB
:
3 tahun
2. Model
Pendidikan
a) Pendidikan
Inklusif
Pendidikan Inklusif
adalah pendidikan pada
sekolah umum yang disesuaikan dengan
kebutuhan siswa berkebutuhan
khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistemik. Kurikulum yang
digunakan pada pendidikan inklusif adalahkurikulum yang fleksibelyang
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
b) Pendidikan
Khusus (SLB)
Pendidikan
Khusus (SLB) adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus.
c)
Guru
Kunjung
Merupakan model pembelajaran yang diberlakukan untuk anak tunanetra yang
tidak dapat belajar di sekolah
khusus atau sekolah umum karena dikarenakan
tempat tinggal yang sulit
dijangkau, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak yang tidak
memungkinkan untuk berjalan, menderita berkepanjangan , dan lain-lain.
VII. Teknologi Pendukung
Perkembangan
teknologi informasi saat ini telah banyak digunakan untuk membantu para
tunanetra. Penggunaan program seperti JAWS (pembaca layar) membuat
pengoperasian komputer menjadi dimungkinkan oleh para tunanetra. Kegiatan
membaca buku yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra selain
menggunakan huruf braille, kini dapat dilakukan dengan bantuan alat pemindai
(bahasa Inggris: scanner).
Dengan
menggunakan perangkat tersebut pada komputer yang telah dilengkapi dengan
piranti lunak pembaca layar, pengguna cukup meletakkan buku di atas kaca
pemindai dan program akan langsung membacanya dari teks yang direproduksi oleh
komputer.
TUNARUNGU
I.
Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu
Istilah
tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang mencakup
tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan
pendengaran sekitar lebih dari
70 dB (desibel) yang
mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengaran
sehingga tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun
tidak memakai alat bantu dengar. Orang
yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran sekitar
27 sampai 69 dB (desibel) yang
biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan
untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang
lain.
Berdasarkan
tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994)
mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
- Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB. Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
- Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
- Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
- Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Easterbrooks
(1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut
lokasi ganguannya:
- Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
- Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
- Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengar meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinga individu itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
II. Karakteristik Anak Tunarungu
- Aspek Akademik
Keterbatasan
dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu cenderung
memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan
cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal
seusianya.
- Aspek Sosial-Emosional
- Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
- Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menyesuaikan diri, serta tindakan yang terpusat pada “ego”, sehingga setiap keinginan harus selalu dipenuhi.
- Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ketergantung pada orang lain serta kurang percaya diri.
- Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
- Memiliki sifat polos, serta perasaan umum dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
- Cepat marah dan mudah tersinggung, sering mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginan secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang lain.
- Segi Fisik (Kesehatan)
1. Jalannya
kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian
dalam terganggu),
2. Gerak matanya
lebih cepat,
3. Gerakan
tangannya cepat dan lincah, dan
4. Pernafasannya
pendek, sedangkan dalam
5. Aspek kesehatan,
pada umumnya sama dengan orang yang normal lainnya.
III.
Kebutuhan Pendidikan dan Layanan Anak Tunarungu
- Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuan anak tersebut. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
- Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak yang pendengarannya normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.
- Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi (terpadu). Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak yang pendengarannya normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem pendidikan intergrasi (terpadu), merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak normal di sekolah umum. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
- Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak yang pendengarannya normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.
- Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama dengan siswa yang pendengarannya normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, serta untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu, harus memperhatikan prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan pedagogis. Sedangkan alat evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat evaluasi umum yang digunakan dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi khusus yang digunakan dalam pembelajaran di kelas khusus dan ruang bimbingan khusus.
IV. Metode
Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu
dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dengan komunikasi manual, atau
dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1)
Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang
dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui
gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di
belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak
kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga
pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini
sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh
pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan
yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, seorang
tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih
baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang
non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang
tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,
1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung
dengan sistem cued speech (isyarat
ujaran). Cued Speech adalah isyarat
gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan
bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada
empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini
membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin
Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini
dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS
yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan
sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk
meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi
untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued
Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari
sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat
dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem)
maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan
cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya
yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2)
Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman
& Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear
implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri
dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor)
yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang
melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea
(ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan
internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant
dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan
stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Meskipun dalam
lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara
cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan
fonologi bahasa itu terbatas. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu
tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar
yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak
berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi
manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah
mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman &
Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang
baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga
mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini
adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
V.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai
sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal.
Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara
dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1. Pendekatan Auditori-Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam
lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkan mereka menjadi
warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif.
Falsafah auditori-verbal mendukung hak azasi manusia
yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan
komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan
auditori-verbal didasarkan
atas prinsip bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori-verbal
merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan
dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip
auditori-verbal
kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori
verbal itu adalah sebagai berikut:
- Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang memiliki pendengaran normal.
- Orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang memiliki pendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil
penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori-verbal di Amerika Serikat dan Kanada
(Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas
responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup
“reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam
lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak
dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik
daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam
Goldberg, 1997).
2.
Pendekatan Auditori-Oral
Pendekatan
auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam
bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang
realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan
sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara
eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone,
1997).
Elemen-elemen
pendekatan auditori-oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya
mencakup:
- Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak menggunakan sisa pendengaran yang masih
dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang sangat mendasar
bagi pendekatan auditori-oral. Meskipun dimulai sebelum anak
masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan
mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi,
identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan
mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi
ujaran (speech sounds) merupakan
stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan.
Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan
menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan
memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara
naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam
setting didaktik. Pada masa pra-sekolah, pengajaran bagi anak dan
pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran
dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi
tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada
keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu
berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada
gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan
kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88%
dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki
kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat pemahaman ujaran
yang tinggi.
TUNADAKSA
I.
Pengertian, dan Klasifikasi Anak Tunadaksa
Anak
tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan
cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari
kata “tuna” yang berarti rugi atau
kurang dan “daksa” yang berarti
tubuh. Tuna daksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna.
Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak
cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat
ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically
handicapped. Ortopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang,
dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi adalah adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan
persendian. Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk
kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan
gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi
:
1.
Ringan. Ciri-cirinya: dapat berjalan tanpa alat
bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri.
2.
Sedang. Ciri-cirinya: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan
alat-alat khusus, seperti brace.
3.
Berat. Ciri-ciri: membutuhkan
perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong diri.
Menurut letak kelainan otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas :
1.
Pastik, cirinya seperti terdapat kekakuan
pada sebagian atau seluruh ototnya
2.
Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan
gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada
seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata,
tangan atau kepala).
3.
Ataxia (adanya gangguan
keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak
berfungsi,
4.
Jenis
campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di
atas).
Penggolongan
anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai
berikut :
1.
Poliomyelitis
Merupakan suatu
infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang
mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik
yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi :
a. Tipe spinal, yaitu
kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki.
b.
Tipe bulbeir, yaitu
kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi ditandai dengan adanya gangguan pernapasan.
c.
Tipe bulbispinalis, yaitu
gabungan antara tipe spinal dan bulbair.
d.
Encephalitis yang biasanya disertai dengan
demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang
2. Mucle Distrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya
dengan keturunan.
3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan
terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutup kembali selama
proses perkembangan. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat
mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus
(pembesaran pada kepala karena
produksi cairan yang berlebihan). Biasanya kasus ini disertai dengan ketuna grahitan.
II. TEMPAT
PENDIDIKAN
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan
jumlah didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tuna
daksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.
1.
Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residentila School)
Diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang derajat
kelainannya berat dan sangat berat.
2.
Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Diperuntukkan bagi anak
tuna daksa yang memiliki kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh
dari sekolah.
3.
Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tuna daksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan
homogeny dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4.
Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time
Special Class)
Model ini digunakan untuk menyatukan anak tuna daksa
dengan anak normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak
tuna daksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.
5.
Kelas Regular dibantu oleh Guru
Khusus (Reguler Class with Supportive Instructional Service)
Anak tuna daksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah umum dengan
bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
6.
Kelas Biasa
dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler
Class Placement with Consulting Service for
Reguler Teacher)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya
dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk
membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai
konsultan guru reguler.
7.
Kelas Biasa
(Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tuna daksa yang
memilki kecerdasan normal, memiliki dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.
III. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang
(SLB-D1)
Lama pendidikan dan isi
kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut :
1. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan
isi kurikulumnya,
meliputi pengembangan kemampuan dasar (moral pancasila, agama, disiplin, perasaan, emosi, dan kemampuan bermasyarakat), pengembangan
bahasa, daya pikir, daya cipta, keterampilan dan pendidikan jasmani. Usia anak yang
diterima minimal tiga tahun.
2. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung minimal enam tahun dan usia anak yang
diterima minimal enam tahun. Isi
kurikulumnya terdiri atas : Program Umum (Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika,
IPS, IPA,
Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan
Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
3. SLTPLB
(Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung minimal tiga tahun, dan siswa yang diterima
harus tamatan SDLB. Kurikulum terdiri atas Program Umum (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris), Program Khusus (Bina Diri dan
Bina Gerak), Program Muatan Lokal (bahasa daerah, kesenian daerah).
4. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung minimal tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Kurikulum meliputi
program umum yang sama dengan
tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan perkantoran, kerumah
tanggaan, dan kesenian. Di jenjang ini, anak tuna daksa diarahkan pada
penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
Lama belajar dan penimbangan bobot mata pelajaran untuk setiap jenjang adalah TKLB lama belajar
satu pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu pelajaran 30 dan 40 menit.
Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata
pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu pelajaran 45 menit dan bobot
mata pelajaran keterampilan dan praktek lebih banyak dari pada pelajaran
lainnya, dan SMLB lama pelajaran sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran
keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
IV. Prinsip
Pembelajaran
Beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa
sebagai berikut :
a.
Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anak tuna daksa
sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri
anak karena banyak anak tuna daksa yang mengalami gangguan indra. Dengan
pendekatan multisensory, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga
dapat membantu proses pemahaman.
b.
Prinsip Individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak
layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan
pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal,
layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki
kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
V. PERSONEL
Personel yang
dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tunadaksa adalah sebagai
berikut :
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan
anak tuna daksa,
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan, kesenian,
3. Guru sekolah biasa,
4. Dokter umum,
5. Dokter ahli
ortopedi,
6. Neurolog,
7. Ahli terapi
lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist,
dan bimbingan konseling.
VI. Alat Bantu untuk Tuna Daksa
Anak tuna
daksa mengalami gangguan motorik dan mobilitas,intelegensi, baik secara
sebagian atau keseluruhan. Hal yang
penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan kemampuan dan keadaanya. Alat yang digunakan dalam belajar (akademik) :
a.
Kartu Abjad
Kita bisa
memperlihatkan warna pada bentuk abjad atau memilih warna yang disukainya.
Semisalnya abjad itu huruf “C” maka kita dapat memberikan contoh dengan
menjelaskan bentuk bulan sabit dan pada abjad
tersebut dengan warna yang bermacam-macam
ataupun yang disukainya. Begitu juga dengan huruf “O” maka kita dapat memberi
penjelasan dengan contoh bentuk suatu bola dan bentuk-bentuk lingkaran.
b.
Kartu Kata
Kita bisa mengenalkan anak dengan disajikannya gambar wortel, apel,
hewan-hewan yang bertuliskan nama dari masing-masing gambar.
c.
Kartu Kalimat
Kita dapat menggabungkan suatu objek yang berupa gambar-gambar yang berisi
tentang suatu kegiatan contohnya ibu
sedang memasak, orang yang sedang memancing. Nah, dari gambar-gambar itu dapat
dijadikan suatu kalimat dan disajikan kartu kalimatnya sebagai kunci
jawabannya.
d.
Torso
seluruh badan
e.
Geometri
sharpe
f.
Menara
gelang, menara segitiga sederhana dan menara segiempat yang berfungsi untuk melatih gerakan
otot-otot
g.
Papan pasak
dengan alat bantu berupa mainan-mainan yaitu menara gelang, menara segitiga, menara segiempat, dan papan pasak.
h.
Gelas rasa
i.
Botol aroma
j.
Abacus dan washer
k.
Kotak bilangan
Fungsi
pembelajaran kotak bilangan untuk melatih motoriknya dalam kognitif contohnya
suatu bentuk-bentuk yang disetiap sisinya ada bertuliskan angka-angka sehingga pengenalan angka itu akan
lebih menarik.
TUNALARAS
1.
Definisi
Anak Berkebutuhan Khusus
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi
atau fisik. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan
mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan
emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak
lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) mempunyai karakteristik
yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena
karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka,
contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi
tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak
berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai
dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B
untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa,
SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
2.
Jenis
dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
· Tunalaras
(Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan
dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya
menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang
berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan
faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional
atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima
komponen berikut:
§
Tidak
mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual, sensori atau
kesehatan.
§
Tidak
mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.
§
Bertingkah
laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
§
Secara
umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau
depresi.
§ Bertendensi
ke arah symptoms fisik (
merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah).
Anak yang
mengalami gangguan emosi dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi
berikut:
§ Bersikap
membangkang,
§ Mudah
terangsang emosinya,
§ Sering
melakukan tindakan aggresif,
§ Sering
bertindak melanggar norma social
atau norma susila atau hukum.
3.
Strategi
Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Tunalaras (Emotional or
behavioral disorder)
Untuk
memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan
model-model pendekatan sebagai berikut;
·
Model biogenetic
·
Model
behavioral/tingkah laku
·
Model psikodinamika
·
Model ekologis
TUNAGRAHITA
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering mendengar istilah anak “bego”, atau kata yang lebih
kasar lagi “anak gila”. Itulah sebutan atau predikat untuk anak tunagrahita. Bahkan
ada yang mengatakan anak cacat (tuna) adalah sebagai kutukan, pembawa sial,
karena perbuatan tidak senonoh orang tuanya. Sehingga setiap orang tua yang
mempunyai anak cacat (tuna) merasa malu dan menyembunyikan anak tersebut.
Dan ada pula yang berpendapat,
bahwa anak cacat adalah anak yang membawa hoki, membawa keberuntungan. Itulah
kenyataan yang terjadi di masyarakat.
B. PENGERTIAN
ANAK TUNAGRAHITA
Istilah untuk anak
tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama : lemah
pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita.
Dalam bahasa Inggris
dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid. Anak
tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang
mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi:
fisik, intelektual, sosial, emosi dan atau gabungan dari hal-hal tadi, sehingga
mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya
secara optimal.
Jadi anak tunagrahita
adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari segi mental
intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan layanan
pendidikan khusus.
C. KLASIFIKASI
ANAK TUNAGRAHITA
Potensi dan kemampuan
setiap anak berbeda-beda demikian juga dengan anak tunagrahita, maka untuk
kepentingan pendidikannya, pengelompokkan anak tunagrahita sangat diperlukan.
Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak
tungrahita dapat dikelompokkan.
- Tunagrahita Ringan (Debil)
Anak
tunagrahita ringan pada umumnya tampang atau kondisi fisiknya tidak berbeda
dengan anak normal lainnya, mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 - 70. Mereka
juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan)
membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa
menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
- Tunagrahita Sedang (Imbesil)
Anak
tunagrahita sedang termasuk kelompok latih. Tampang atau kondisi fisiknya sudah
dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tunagrahita yang mempunyai fisik
normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 - 50. Mereka biasanya menyelesaikan
pendidikan setingkat ke;las II SD Umum.
- Tunagrahita Berat (Idiot)
Kelompok
ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan
secara akademis. Anak tunagrahita berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ
mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan
bantuan orang lain.
D. SEBAB-SEBAB
KETUNAAN
Menurut penyelidikan
para ahli (tunagrahita) dapat terjadi :
- Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu
terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya seperti :
campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi,
pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
- Natal (waktu lahir)
Proses
melahirkan yang sudah, terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan oksigen
pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil. Dapat menyebabkan otak
terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses melahirkan
yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
- Pos Natal (sesudah lahir)
Pertumbuhan
bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang
disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis) dapat
menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).
E. KARAKTERISTIK
ANAK TUNAGRAHITA
Karakteristik atau ciri-ciri anak
tunagrahita dapat dilihat dari segi :
- Fisik (Penampilan)
ü Hampir
sama dengan anak normal
ü Kematangan
motorik lambat
ü Koordinasi
gerak kurang
ü Anak
tunagrahita berat dapat kelihatan
- Intelektual
ü Sulit
mempelajari hal-hal akademik.
ü Anak
tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia
12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
ü Anak
tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7,
8 tahun IQ antara 30 – 50
ü Anak
tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun,
dengan IQ 30 ke bawah.
- Sosial dan Emosi
ü Bergaul
dengan anak yang lebih muda.
ü Suka
menyendiri
ü Mudah
dipengaruhi
ü Kurang
dinamis
ü Kurang
pertimbangan/kontrol diri
ü Kurang
konsentrasi
ü Mudah
dipengaruhi
ü Tidak
dapat memimpin dirinya maupun orang lain.
F. PENDIDIKAN
ANAK TUNAGRAHITA
Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk
mendapatkan pengajaran. Demikian halnya dengan anak tunagrahita berhak untuk
mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah untuk melayani pendidikan anak
luarbiasa (tunagrahita) yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah
berkebutuhan khusus.
Sekolah untuk anak luar biasa terdiri
dari :
- SLB – A untuk anak Tunanetra
- SLB – B untuk anak Tunarungu
- SLB – C untuk anak Tunagrahita
- SLB – D untuk anak Tunadaksa
- SLB – E untuk anak Tunalaras
- SLB – F untuk anak Berbakat
- SLB – G untuk anak cacat ganda
Sekolah Luar Biasa untuk anak
tunagrahita dibedakan menjadi :
- SLB – Cuntuk Tunagrahita ringan
- SLB – C1untuk Tunagrahita sedang
Untuk Tunagrahita berat biasanya
berbentuk panti plus asramanya.
1xbet korean | legalbet.co.kr
BalasHapus1xbet korean. 1xbet korean. 1xbet korean. 1xbet korean. 1xbet korean. 1xbet www 1xbet com korean. 1xbet korean. 1xbet korean. 1xbet korean.