A. DEVELOPING SELF
1. KONSEP
DIRI DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF
Self Concept adalah gambaran total dari
diri kita. Self concept itu sendiri adalah sesuatu yang kita percayai mengenai
siapa kita atau dengan kata lain adalah gambaran total dari kemampuan kita dan
sifat-sifat kita. Self concept adalah gambaran deskripsi dan evaluasi mental
dari kemampuan dan sifat seseorang.
Perasaan mengenai self concept itu
sendiri juga memiliki aspek-aspek sosial : anak-anak menganggap self-image
mereka itu sebagai penilaian orang lain terhadap mereka. Gambaran diri menjadi
sebuah fokus pada masa kanak-kanak sebagaimana anak-anak mengembangkan
kewaspadaan diri mereka. Self-concept menjadi lebih jelas ketika mereka
memiliki kemampuan kognitif dan peningkatan dalam tugas perkembangan mulai dari
anak-anak, remaja, dan dewasa.
a. Changes in Self Defenition : The 5
to 7 shifts
Perkembangan self-concept terjadi
seiring dengan perubahan pada self-defenition, yaitu serangkaian karakteristik
dimana anak-anak menggambarkan diri mereka sendiri.
Pada umur antara 5 sampai 7 tahun,
pernyataan mengenai gambaran diri pada anak-anak itu termasuk pada tahap single
representation, yaitu tahap pertama dari teori Piaget dimana anak-anak
menggambarkan diri mereka secara individual, satu dimensi, dan terpotong-potong
dan tidak memiliki kaitan ciri-ciri pada setap pernyataannya. Hal ini terjadi
karena anak-anak masih memiliki kapasitas memory yang terbatas sehingga dia
tidak dapat membedakan setiap aspek dirinya pada suatu waktu. Dan dia tidak
dapat membedakan antara Real self yaitu dirinya sendiri, dan ideal self yaitu
bagaimana seharusnya dirinya itu. Pada umur sekitar 5 atau 6 tahun, anak-anak
mulai bisa menrangkaikan setiap kalimat dengan sebuah hubungan yang ada pada
dirinya. Tahap ini disebut dengan representational mappings yaitu hubungan yang
logis antara gambaran dirinya. Dan tahap yang ketiga adalah representational
systems yang merupakan tahap pada masa kanak-kanak tengah, dimana anak-anak
mulai mengintegrasikan berbagai fitur-fitur spesifik pada dirinya menjadi
sebuah hal yang umum yang merupakan konsep multidimensi.
Contohnya seperti “Saya bermain dengan
baik di hoki, tetapi saya tidak terlalu cocok di aritmatika”.
b. Cultural Differences in Self
Description
Penelitian mengatakan bahwa budaya
mempengaruhi konsep diri anak-anak. Orangtua mengajarkan melalui pembicaraan
sehari-hari, ide-ide budaya, dan kepercayaan tentang bagaimana mendefenisikan
diri. Contohnya, orang tua Cina cenderung meningkatkan aspek interdependent
yang mana merupakan perilaku yang pantas dan memiliki sense of belonging yang
tinggi terhadap komunitas. Orangtua Amerika Eropa cenderung meningkatkan aspek
Independent yang mana merupakan sisi individualitas, ekspresi diri, dan
self-esteem. Perbedaan nilai-nilai budaya itu mempengaruhi anak-anak untuk
menerima diri mereka sendiri dalam setiap budaya. Studi banding terhadap 180
anak prasekolah Eropa Amerika dan Cina, anak TK dan anak kelas 2 Sekolah Dasar
(Wang, 2004) menemukan bahwa anak-anak menyerap gaya budaya yang berbeda
tentang self-defenition pada usia 3 sampai 4 tahun, dan berkembang seiring
usia. Anak-anak Eropa Amerika cenderung mendeskripsikan mereka dalam hal
atribut pribadi dan kepercayaan, sebagaimana anak Cina lebih membicarakan
tentang kategori sosial dan lebih berhubungan dengan orang lain.
ü
Harga Diri (Self-Esteem)
Harga diri adalah penilaian yang dibuat
seseorang tentang kelayakan dirinya yang didasari oleh kemampuan kognitif yang
tumbuh untuk menjelaskan diri seseorang.
·
Perubahan Perkembangan dalam Harga
Diri
Dalam sebuah studi di
Belgia (Verschueren, Buyck, dan Marcoen, 2001), para periset mengukur
representasi diri anak usia 5 tahun dengan menggunakan dua pengukuran yaitu :
1. Self
Perception Profile for Children (persepsi spesifik mengenai penampilan)
2. Puppet
Interview (interview dengan menggunakan boneka)
·
Ketergantungan Harga Diri : Pola
“Ketidakberdayaan”
Anak yang memiliki
harga diri yang tinggi memiliki motivasi diri untuk sukses, sedangkan anak yang
memiliki harga diri yang rendah akan memiliki emosi yang negatif dan cenderung
pasrah pada keadaan dimana mereka menemukan kesulitan. Pola “ketidakberdayaan”
ini tergantung oleh pola asuh dan keadaan lingkungan. Misalnya dalam menegur
anak kita harus menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan.
ü Pemahaman
dan Pengaturan Emosi
Pada masa awal kanak-kanak, memahami dan
mengatur emosi dapat membantu kompetensi sosial anak. Hal ini sangat
berpengaruh dalam mengatur perilaku dan persaan mereka bahkan akan mempengaruhi
tipe permainan yang akan mereka mainkan.
Hubungan dalam keluarga sangat mempengaruhi perkembangan pemahaman emosi. Pada
masa awal kanak-kanak ini mereka mampu memahami bahwa emosi berrkaitan dengan pengalaman
dan keinginan meskipun demikian mereka belum memiliki pemahaman yang penuh
mengenai emosi seperti kebanggaan dan mereka mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan emosi yang bertentangan.
·
Emosi yang Diarahkan pada Diri Sendiri
Emosi
yang diarahkan pada diri sendiri itu seperti rasa bersalah, rasa bangga, aib
dan menerima perilaku yang ditetapkan orangtua. Anak pada usia 4 sampai 5 tahun
tidak akan mengetahui dan menyadari akan rasa bangga atau malu, sedangkan anak
yang berusia 5 sampai 6 tahun akan mengetahui bahwa orang disekitar mereka merasakan bangga atau malu terhadap tindakkan
mereka. Anak yang berumur 6 sampai 7 tahun juga akan dapat merasakan malu atau
bangga terhadap diri mereka sendiri meskipun tanpa adanya penilaian secara
langsung dari orang lain.
·
Emosi-Emosi yang Bersamaan
Anak
kecil akan merasa kebingungan untuk memahami perasaan mereka dalam mengalami
reaksi emosi yang berbeda pada saat bersamaan. Perbedaan dalam memahami emosi
ini terjadi pada anak usia 3 tahun. Anak pada usia 3 tahun dapat membedakan
ekspresi senang dan ekspresi sedih.
v ERIKSON
: INITIATIVE VS GUILT
Inisiatif
vs rasa bersalah merupakan tahap ketiga dalam perkembangan psikososial. Pada
tahap ini jika anak dalam melakukan sesuatu dan diberi tanggapan yang positif
dari orang disekitarnya maka inisiatif akan muncul, tetapi jika anak melakukan
sesuatu hal dan mendapat respon negatif dari orang sekitar maka rasa bersalah
akan muncul.
B.
GENDER
Gender
identity adalah kesadaran seseorang akan jiwa mereka kearah perempuan atau
kelaku-lakian. Gender merupakan aspek penting dalam mengembangkan konsep diri.
1. Perbedaan Gender
Perbedaan
gender berbeda dengan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan gender merupakan
perbedaan psikososial antara laki-laki dan perempuan, sedangkan perbedaan jenis
kelamin merupakan perbedaan fisik antara pria dan wanita. Perbedaan utama pada
gender berada pada perilaku yang lebih agresif dari anak laki-laki ketimbang
anak perempuan. Secara psikososial anak perempuan lebih bersifat empatik dan
suka menolong. Pada masa kanak-kanak awal, dan juga pada masa praremaja dan
remaja, anak perempuan cenderung mengggunakan bahasa yang lebih responsif
daripada anak laki-laki.
Skore
test kecerdasan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar gender. Namun,
dalam hal kemampuan spesifik anak
pereempuan cenderung lebih baik dalam kemampuan verbal, sedangkan laki-laki
cenderung lebih baik dalam hal penalaran sains.
Sebagai
batita anak laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang sama untuk
melakukan perilaku-perilaku tertentu seperti memukul,mengigit, tantrum, dan
memiliki kemungkingan untuk menunjukkan tempramen yang “sulit”. Tapi, perilaku
ini akan bertahan sampai masa remaja, ketika anak perempuan lebih rentan
mengalami kecemasan dan depresi. Hal yang paling penting adalah bahwa perbedaan
gender ini hanya valid pada kelompok besar anak.
2. Berbagai Sudut Pandang Perkembangan Gender
Perbedaan
gender disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman dan pengharapan sosial yang
ditemui anak laki-laki dan perempuan sejak mereka lahir. Pengalaman-pengalaman
ini berhubungan dengan tiga aspek identitas gender :
1. Peran Gender (gender roles)
: peran kepribadian yang dianggap sesuai oleh suatu budaya terhadap laki-laki
atau perempuan.
2. Penipean Gender (gender typing)
: proses dilekatkannya peran gender terhadap anak-anak. Biasanya terjadi pada
masa awal kanak-kanak dan setiap anak-anak memiliki peran gender yang berbeda.
3. Stereotip Gender (gender
stereotypes) : Tanggapan yang sudah melekat tentang
perbedaan prilaku peran pria dan wanita. Misalnya, semua perempuan dianggap
pasif dan bergantung, sedangkan semua laki-laki dianggap agresif dan mandiri.
Empat
sudut pandang perkembangan gender :
1. Pendekatan
Biologis
Faktanya pada usia
5tahun, otak anak laki-laki lebih besar sepuluh persen dibandingkan anak
perempuan, hal ini disebabkan karena anak laki-laki memiliki gray matter yang lebih banyak pada
korteks serebrum, sedangkan anak perempuan memiliki kepadatan neuron yang lebih
tinggi. Perbedaan ini berhubungan dengan kelancaran bahasa, karena anak
perempuan memiliki corpus callosum yang lebih besar, koordinasi yang lebih baik
antara otak kiri dan otak kanan mungkin dapat menjelaskan kenapa anak perempuan
memiliki kemampuan verbal yang lebih tinggi.
2. Pendekatan
Psikoanalisis
Pada usia empat tahun
biasanya anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar yang menyebabkan
anak-anak lebih sering bertanya. Proses ini menurut Freud adalah proses
identifikasi (identification).
Identifikasi dalam teori aliran Freud merupakan proses dimana anak
mengadopsi sekumpulan karakteristik keyakinan, sikap, nilai, dan prilaku dari
orangtua dengan jenis kelamin yang sama. Tahap ini merupakan perkembangan
kepribadian yang penting pada masa kanak-kanak awal.
3. Pendekatan
Kognitif
Dalam teori ini
pembentukan gender seorang anak dilakukan berdasarkan pencarian aktif dari si
anak akan petunjuk mengenai gender dalam dunia sosial mereka. Menurut Kohlberg,
gender yang diperoleh tergantung pada konstanta gender atau sering disebut
konstanta kategori jenis kelamin. Konstanta gender merupakan kesadaran anak
bahwa jenis kelaminnya akan selalu tetap. Konstanta gender tumbuh dalam tiga
tahap: identitas, stabilitas, dan konsistensi
gender.
4. Pendekatan
Berdasarkan Sosialisasi
Dalam teori pendekatan
sosialisasi, anak memperoleh peran gender dari pengamatan mereka terhadap
orangtua, guru, teman sebaya, dan institusi masyarakat. Pembentukan peran
gender diperoleh dari :
a. Pengaruh
keluarga
b. Pengaruh
teman sebaya
c. Pengaruh
budaya
B. BERMAIN
: Urusan pada Masa Kanak-Kanak Awal
Bermain merupakan hal yang penting bagi
anak karena melalui bermain, dapat merangsang indera anak, belajar menggunakan
otot-otot mereka, mengoordinasikan gerakan dan penglihatan, memperoleh penguasaan
tubuh, dan memperoleh keterampilan baru.
1. Tingkat Kognitif dari Permainan
Piaget
mengidentifikasikan tiga permainan, yaitu :
1. Permainan fungsional (functional
play) dimana melibatkan pergerakan otot yang
berulang-ulang secara aktif.
2. Permainan konstruktif (contructive
play) dimana menggunakan benda untuk membuat
rumah-rumahan atau krayon untuk menggambar.
3. Permainan pura-pura (pretend play)
dimana melibatkan orang-orang atau situasi khayalan. Biasanya permainan ini
juga disebut permainan khayalan, drama, atau imajinatif.
2. Dimensi Sosial Bermain
Tokoh
: Mildred B. Parten (1932). Tipe permainan awal : bermain paling tidak sosial
menjadi yang paling sosial.
1. Unoccupied
Behavior (prilaku tidak terlibat)
Anak tidak ikut
bermain, anak hanya mengamati semua dengan ketertarikan sementara.
2. Onlooker
Behavior (prilaku sebagai penonton)
Anak tidak ikut
bermain, hanya mengamati anak-anak yang sedang bermain, berbicara, bertanya,
dan memberi saran kepada pemain. Terfokus akan pengamatan terhadap anak-anak
yang bermain, bukan apapu yang dianggapnya menarik.
3. Solitary
Independent Play (bermain sendiri dan mandiri)
Anak bermain sendiri
dengan permainannya yang berbeda dengan anak-anak disekitarnya dan tidak
berkeinginan untuk bergabung dengan anak-anak yang lain.
4. Parallel
Play (bermain secara paralel)
Anak bermain sendiri
tapi diantara anak-anak lain yang sedang bermain. Mainan yang digunakan serupa dengan yang
digunakan anak lain, tetapi tidak berkeinginan bermain dengan cara yang sama
dan tidak berusaha untuk mempengaruhi permainan anak lain.
5. Associative
Play (bermain dengan anak lain)
Membicarakan tentang
permainannya, pinjam-meminjam mainan, saling mengikuti dan mengontrol para
pemain. Mereka bermsain bersama, tetapi tidak ada tujuan dan peraturan peran setiap oemain dan
cenderung bermain sesuka hati. Tujuan bermain adalah untuk bersama dengan anak
lain dan bukan pada aktivitas itu sendiri
6. Cooperative
Or Organized Supplementary Play
Bermain dalam gruop teratur untuk
satu tujuan yag sama, beberapa anak mengontrol permainan dan memberi petunjuk.
Setiap aak memiliki peran yang berbeda dan saling melengkapi.
Pada
awalnya, Parten beranggapan bahwa perkembangan dan petumbuhan seorang anak akan
mempengaruhi cara bermain anak. Semakin berkembang dan bertumbuh maka anak itu
akan bermain semakin interaktif dan kooperatif.
a. Reticent Play (keengganan bermain)
disebabkan oleh rasa malu. Anak bermain disekitar anak lain yang sedang
bermain, mengelilingi pemain tanpa tujuan. Hal tersebut sebagai awalan sebelum
bermain dengan permainan anak lain. Anak cenderung disenangi dan memiliki
masalah prilaku yang relatif lebih sedikit.
b. Imaginative Play (bermasin
imajinatif) merupakan tipe bermain pada anak usia
prasekolah yang lebih sosial. Anak-anak pura-pura sendiri dan membuat suatu
permainan drama yang melibatkan anak lain. Contohnya, anak bermain dengan
permianannya sendiri, dia memainkan peran mainan yang satu dengan yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Papalia & Olds, 2004, Human Development, New York : McGraw-Hill Book Co
Papalia, Olds, & Feldman, 2009, Human
Development – Perkembangan Manusia, Jakarta : Salemba Humanika, edisi 10 buku 1
trm ksh
BalasHapusthank you so much! Love it!!
BalasHapus