Sabtu, 29 Juni 2013

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL PADA MIDDLE CHILDHOOD


Perkembangan Psikososial adalah perkembangan yang, meliputi:
I.            PERKEMBANGAN DIRI (THE DEVELOPING SELF)
a.      Self Concept Development(Perkembangan Konsep Diri)
Konsep diri merupakan pencerminan dari tingkah laku yang dipandang sebagai suatu titik temu antara seorang individu dengan lingkungan sosialnya. Konsep diri bukan hanya berfungsi sebagai pemandu tingkah laku keseharian individu tetapi juga sebagai sesuatu yang mendasar dan pusat dari segala tingkah laku.
Pada masa kanak-kanak pertengahan, penilaian anak mengenai diri  sudah lebih realistis, seimbang dan komprehensif. Mereka sudah dapat mendeskripsikan diri mereka menurut sifat-sifat yang mereka kenali dari diri mereka sendiri. Pengenalan terhadap diri mereka sendiri menjadi lebih kompleks , beraneka ragam, dan abstrak. Anak-anak mulai mengenali dirinya sebagai suatu individu dengan kepribadian tertentu dan berdasarkan kualitas mereka.
Ketika anak-anak sudah dapat mendeskripsikan diri mereka dengan lebih baik, mereka akan mulai membandingkan diri mereka dengan lingkungan mereka dan orang lain. Itulah yang akan mengakibatkan perkembangan yang sangat pesat di dalam pertumbuhan intelektual, seni, sosial, dan bakat-bakat tertentu dalam diri mereka.
Menurut Erikson (1959), masa kanak-kanak tengah adalah masa penting yang dapat disimpulkan dengan “Saya adalah apa yang saya pelajari.”
Perkembangan konsep diri ini, kemudian, ditambahkan oleh Piaget (1952) bahwa anak-anak pada masa ini memerlukan konsep diri kuat yang meningkatkan apresiasi diri mereka sebagai suatu objek sosial, yang tidak egosentris dan perlu bergaul dengan lingkungan sosial mereka.
b.      Pengaturan Pada Tingkah Laku : Sistem Diri dan Sistem Sosial
Untuk mengembangkan suatu konsep diri yang jelas pada anak, anak perlu memandang mereka sendiri sama dengan cara orang lain memandang mereka. Dari pandangan psikologi sosial, tingkah laku anak dapat diatur menurut kebutuhan, keinginan, tujuan, bakat, dan harapan mereka (dorongan sistem diri sendiri) dan dari keinginan orang lain terhadap mereka. (dorongan dari sistem sosial). Dalam beberapa peristiwa, tingkah laku masa kanak-kanak tengah ini sangat signifikan dipengaruhi oleh sistem sosial mereka. Contohnya: Seorang anak berumur 10 tahun yang ingin menabung untuk membeli sepeda untuk adiknya.
Semakin anak-anak pada masa usia tengah berpartisipasi dalam aktifitas sosial yang mengontrol tingkah laku, mereka akan mengembangkan strategi-strategi dalam berperilaku.
Peningkatan dalam pengontrolan diri sendiri terjadi saat anak beraktifitas dengan teratur (misalnya dalam hal berpakaian). Pada waktu yang sama, sistem sosial akan menuntut beberapa permintaan yang dapat mendukung hal ini, seperti, saat ini, banyak anak pada masa usia tengah yang diminta menjaga adiknya, mengerjakan tugas rumah, PR, dan mematuhi peraturan di sekolah.
Karena itu, anak-anak pada masa usia tengah menjadi lebih berkembang dalam memberikan perhatian pada tekanan sistem sosial dan berusaha melakukannya dengan baik. Anak-anak belajar bahwa kebutuhan mereka dapat dipenuhi ketika mereka memenuhi permintaan-permintaan dari lingkungan sosial mereka.
Untuk beberapa anak, pengaturan pada tingkah laku di sistem sosial dan diri tidak selalu berjalan dengan baik dan sukses, yang akan mengakibatkan perjuangan keras anak sepanjang menjalani masa usia kanak-kanak tengah atau bahkan sepanjang hidup mereka.
Dengan menempatkan anak pada lingkungan sosial yang sesuai, kita dapat membuat pandangan yang jelas pada peran konsep diri anak dalam mengatur perilaku.

c.       Self Esteem (Harga Diri)
Menurut Erikson, faktor penentu utama harga diri adalah pandangan anak itu sendiri adalahapakah mereka mampu bekerja secara produktif. Persoalan yang diselesaikan pada masa kanak-kanak tengah ini adalah industry versus inferiority. Ini merupakantahap keempat teori perkembangan psikososial menurut Erikson. Anak-anak perlu mempelajari berbagai keterampilan yang bernilai didalam masyarakat. Kebaikan atau sifat yang berkembang dengan resolusi yang baik pada tahap psikososial ini adalah keahlian, sebuah pandangna yang mampu menguasai beberapa keterampilan,dan dapat menyelesaikan tugas. Anak-anak biasanya akan membandingkan kemampuan mereka dengan anak-anak teman sebayanya. Jika tidak memadai, mereka akan mencari kembali keluarga mereka. Disisi lain, mereka dapat terlihat lebih rajin, mereka bisa mengabaikan hubungan sosial, dan menjadi orang yang “pekerjakeras”. Orang tua juga sangat mempengaruhi keyakinan secara kompeten.
Bertentangan dengan penelitian Erikson yang menempatkan pentingnya penguasaan keterampilan, Susan Harter menemukan bahwa anak-anak berusia 8-12 tahun di Amerika Utara, menilai diri mereka sendiri menurut popularitas dan penampilan. Menurut Harter pengaruh utama terhadap harga diri adalah dukungan sosial dari orangtua, teman sebaya, dan guru. Akan tetapi pada umumnya, hal ini tidak akan mengimbangi evaluasi diri yang rendah. Contohnya: Apabila Rina menganggap cantik itu penting, tetapi pada dasarnya dia tidak cantik, maka dia akan kehilangan harga dirinya, walaupun banyak pujian yang dia terima dari orang lain.
Anak-anak yang memliki harga diri yang rendah akan sangat memperhatikan penampilan mereka di dalam situasi sosial. Mereka akan menghubungkan penolakkan sosial adalah karena kepribadian mereka, yang mereka yakini tidak dapat diubah. Daripada mencoba hal yang baru agar dapat diterima, anak-anak akan mengulang strategi yang tidak sukses atau menyerah.
Anak-anak yang memiliki harga diri tinggi cenderung menghubungkan kegagalan mereka dengan faktor diluar diri mereka atau perlunya usaha yang lebih keras. Jika pada awalnya tidak berhasil, maka mereka akan bertahan dan mencoba strategi baru sampai mereka menemukan satu strategi yang berhasil. Anak-anak dengan harga diri yang tinggi, cenderung menolong anak-anak lain yang kurang beruntung dan mereka akan dapat membantu mereka dalam meningkatkan harga diri mereka.
d.      Pertumbuhan Emosional dan Perilaku Prososial
Ketika anak-anak mulai tumbuh dewasa, mereka akan lebih peka terhadap perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Mereka dapat mengatur perasaan emosi mereka sendiri dan merespon emosi orang lain dengan lebih baik.
Pada usia 7 atau 8 tahun anak-anak biasanya sudah bisa merasa malu dan bangga. Mereka dapat mengeluarkan ide-ide yang dapat dilihat dengan jelas  perbedaan antara rasa bersalah dan malu. Emosi-emosi ini dapat mempengaruhi pendapat mereka mengenai diri mereka sendiri. Anak-anak juga dapat menyatakan berbagai emosi mereka secara lisan.
Pada masa kanak-kanak tengah, anak-anak telah menyadari dari peraturan budaya dalam menunjukkan perasaan mereka,yang orang tua ajari melalui reaksi terhadap cara anak menunjukkan emosinya.
Anak-anak juga mempelajari perbedaan antara memiliki emosi dan mengungkapkannya. Mereka mempelajari apa yang membuat mereka marah, takut, senang bahkam sedih. serta bagaimana orang lain bereaksi terhadap emosi yang sudah diperlihatkan dan mereka belajar menyesuaikan perilaku mereka dengan berbagai situasi.
Dalam pengendalian emosional ini, usaha dalam mengontrol emosi, perhatian dan perilaku adalah sangat penting. Anak-anak dengan kontrol perilaku yang rendah cenderung mudah marah atau frustasi ketika diganggu pada sangat mereka sedang melakukan hal yang ingin mereka lakukan, Anak-anak dengan kemampuan kontrol perilaku yang tinggi dapat menahan dorongan untuk menunjukkan reaksi emosi yang negatif pada saat yang tidak tepat. Upaya untuk melakukan pengendalian ini berdampak pada saat anak mencoba beradaptasi di lingkungan sekolah mereka,
Anak-anak cenderung menjadi lebih empati dan lebih melakukan perilaku prososial dalam masa kanak-kanak tengah dan perilaku seperti itu juga merupakan tanda penyesuaian emosional yang positif. Anak-anak prososial cenderung bertindak sesuai dengan situasi sosial, bebas dari emosi negatif, dan menyelesaikan masalah secara konstruktif. Orangtua yang mengenali perasaan sedih anaknya dan membantu mereka dalam mencari jalan keluar masalah akan mendorong rasa empati, perkembangan prososial dan keterampilan sosial anak. Ketika orangtua memberikan respon tidak setuju, emosi seperti marah dan takut akan menjadi lebih kuat dan dapat merusak penyesuaian sosial anak-anak.
Seiring dalam mendekati masa remaja anak-anak, ketidaktoleransian orangtua terhadap emosi negatif dapat mempertinggi konflik antara orangtua dan anak.
1.      ANAK DI DALAM KELUARGA
Anak pada masa usia tengah, yang merupakan masa-masa sekolah, cenderung menghabiskan waktu luang mereka jauh dari rumah, bersosialisasi dengan teman dan lingkungan mereka. Saat ini, banyak pula kurikulum sekolah yang mengharuskan anak-anak menghabiskan lebih dari setengah waktu mereka di sekolah. Namun, rumah dan keluarga tetaplah bagian yang penting di dalam hidup anak.
Untuk mengerti perilaku anak di dalam keluarganya, kita perlu terlebih dahulu mempelajari keadaan keluarganya, yaitu struktur keluarga dan atmosfer. Bronfenbrenner berpendapat bahwa pengaruh tambahan, misalnya pekerjaan orang tua dan status ekonomi sosial serta tren dalam keluarga, misalnya urbanisasi dan perceraian, membantu dalam membentuk perkembangan anak. Kebudayaan juga mengambil bagian yang penting dalam hal ini.
Ada hal – hal penting yang perlu diperhatikan untuk memahami anak di dalam keluarga:
a.      Keadaan Keluarga
Pengaruh yang paling penting dari ligkungan keluarga terhadap perkembangan anak adalah keadaan atau atmosfir dari rumah
·         Masalah Pengasuhan : Coregulation dan Kedisiplinan
Masa perkembangan anak usia tengah adalah masa anak memasuki masa coregulation, yang berarti orang tua dan anak akan berbagi wewenang. Coregulation adalah masa transisi dari pengaturan tingkah laku yang mana orang tua akan cenderung melakukan pengawasan dan anak-anak akan melatih dalam pengaturan diri sendiri. Contohnya, orang tua sudah tidak akan berperan secara langsung dalam mengatur anak, namun orang tua memberi nasihat dan arahan kepada anak.
Cara orang tua membawa anak dalam masa coregulation akan mempengaruhi cara orang tua dalam mempraktekkan kedisiplinan. Orang tua yang memiliki anak sedang dalam masa sekolah lebih sering menggunakan teknik induksi. Contohnya: Pada saat ayah John ingin mengajarkan John tentang bagaimana perilakunya dapat berimbas pada ornag lain : “Memukul Jerry dapat melukainya dan membuat dia merasa sakit”. Pada situasi yang lain, orang tua John dapat menarik John untuk menguji harga dirinya dengan mengatakan hal-hal seperti: “Apa kabar anak penolong yang datang ke rumah kemarin?” dengan harapan John dapat menjadi lebih penolong.
Cara orang tua dan anak bekerja sama dalam proses menyelesaikan konflik lebih penting daripada penyelesaian konflik itu sendiri. Jika konflik keluarga lebih konstruktif dan membangun, hal ini dapat membantu anak melihat kebutuhan yang penting akan peraturan di dalam keluarga dan lingkungan sosial. Mereka juga belajar konflik seperti apa yang layak diperdebatkan dan strategi apa yang efektif.
·         Efek dari Orang Tua yang Bekerja
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti tentang efek kedua orang tua yang bekerja terhadap perkembangan anak. Penelitian-penelitian yang dilakukan lebih difokuskan kepada ibu yang bekerja di dalam sebuah keluarga. Umumnya, semakin seorang ibu merasa puas terhadap pekerjaannya, semakin bagus pula kinerjanya berperan sebagai orang tua.
Namun, sesungguhnya, hal yang lebih diutamakan adalah sebaik apa seorang orang tua untuk mengenal dan mengikuti perkembangan anaknya yang akan lebih penting bagi anak. Ada anak, dengan ibu yang bekerja, diasuh ayahnya atau kerabat keluarganya sebelum dan setelah waktu sekolah. Beberapa, apalagi anak yang hidup di keluarga single-parent, lebih sering mengunjungi tempat titipan anak atau aktifitas-aktifitas yang mengembangkan bakat.
Anak-anak, khususnya laki-laki, akan dapat beradaptasi dengan mudah dan belajar dengan baik di sekolah apabila ditempatkan pada progam ekstrakulikeler sekolah yang fleksibel dan berorientasi ke arah yang positif.
Namun, menempatkan pengasuhan anak di luar dari lingkungan rumah dan sekolah lebih baik hanya dilakukan pada anak yang sudah mulai matang, bertanggung jawab, dan mandiri, sehingga dapat berkomunikasi dengan orang tua melalui telepon.
·         Kemiskinan dan Pengasuhan
Kemiskinan dapat memotivasi orang tua anak untuk bekerja keras, atau malah menyerah. Kemiskinan dapat merusak perkembangan anak melalui kondisi emosi orang tua, pola pengasuhan orang tua, dan keadaan lingkungan rumah yang orang tua ciptakan.
Keluarga yang miskin tentunya menguji tingkat emosi orang tua. Orang tua yang stress dapat berakibat pada emosi anak, perilaku anak, dan prestasi akademis anak yang kurang baik. Kemiskinan dapat membuat orang tua menjadi cemas, depresi, dan mempunyai emosi yang mudah terganggu. Mereka akan menjadi kurang menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dan kurang responsif terhadap segala kebutuhan anak. Anak-anak dengan keadaan seperti ini akan menjadi depresi, bermasalah dalam bersosialisasi, kurang percaya diri, mempunyai masalah pada tingkah laku dan prestasi belajar, dan cenderung melakukan hal-hal yang buruk di lingkungan sosial mereka. Keluarga dengan tingkat ekonomi yang lemah cenderung kurang memeperhatikan anak dan berakibat pada prestasi belajar di sekolah dan adaptasi sosial yang kurang baik.
Orang tua yang mendapat dukungan dari pihak keluarga atau lingkungan, memperoleh bantuan dalam pengasuhan anak, akan dapat mengasuh anak dengan baik. Sehingga perkembangan anak, walaupun dengan kondisi ekonomi yang lemah, tidak akan mempunyai masalaha yang signifikan.
b.   Struktur Keluarga
Struktur keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak dengan cukup signifikan. Anak yang dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang mempunyai kedua orang tua lengkap (ayah dan ibu) akan berkembang dengan baik dibandingkan anak yang dibesarkan oleh satu orang tua, orang tua asuh, atau keluarga yang kumpul kebo.
·         Keluarga Adopsi
Adopsi bukan hanya diperuntukkan untuk keluarga yang mandul, tetapi juga orang yang sudah tua, pasangan gay dan lesbian, atau pun orang yang telah mendapat anak biologis, tetapi ingin menjadi orang tua asuh. Adopsi dapat dilakukan dari tempat penampungan anak yang dibiayai negara atau swasta, juga dapat dilakukan dengan perjanjian pribadi antara orang tua kandung dan orangtua pengadopsi. Mengadopsi anak membawa tantangan tersendiri. Di samping masalah pengasuhan yang bisa muncul, orang tua adoptif harus berhadapan dengan mengadapsikan anak ke dalam keluarga barunya. Menjelaskan pengadopsian kepada si anak dapat membantu anak mengembangkan perasaan diri yang sehat, dan mungkin akhirnya membantu anak untuk berhubungan dengan orang tua biologis.
Mengacu pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, sebenarnya hanya ada sedikit perbedaan dalam penyesuaian antara anak yang diadopsi dengan yang tidak. Anak yang diadopsi pada masa bayi lebih dapat beradaptasi dengan baik dibandingkan anak yang diadopsi pada usia tengah.
·         Orang Tua yang Bercerai
Berbagai hal mempengaruhi penyesuaian anak, apalagi dalam masa usia tengah, dalam menghadapi perceraian orang tuanya, meliputi kematangan usia, gender, temperamen, dan penyesuaian psikologis serta sosial sebelum perceraian. Anak yang lebih muda akan lebih cemas dalam menghadapi perceraian orang tuanya. Hal ini dikarenakan anak pada masa usia tengah masih kurang memiliki persepi yang jelas tentang penyebab perceraian tersebut. Anak dalam usia sekolah sangat sensitif terhadap tekanan dari orang tua dan konflik loyalitas.
Anak-anak menyesuaikan diri dengan lebih baik apabila orang tua yang mendapatkan hak perwakilan menciptakan lingkungan yang stabil, terstruktur dan tidak mengharapkan anak untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya. Masalah emosional atau perilaku dapat terjadi disebabkan karena anak menyaksikan atau merasakan adanya konflik di antara orang tua, baik sebelum atau setelah perceraian, dan dari perpisahan itu sendiri.
Apabila orangtua dapat mengontrol kemarahan mereka, bekerja sama dalam mengasuh anak, dan menghindarkan anak dari perselisihan,sang anak, kecil kemungkinannya akan memiliki masalah. Sayangnya ketegangan dari perceraian sering membuat pasangan sulit menjadi orangtua yang efektif.
Sebagian besar anak dari orang tua yang bercerai menyesuaikan diri dengan baik. Walaupun demikian, kecenderungan untuk drop out dari sekolah dua kali lebih besar dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak bercerai. Mereka juga cenderung menikah pada usia muda, membentuk hubungan yang tidak stabil dan rentan perceraian.karena merasakan perceraian orang tuanya ketika mereka kecil. Beberapa orang dewasa yang masih muda takut membuat komitmen yang berakhir kekecewaan, akan tetapi banyak dari mereka yang menghilangkan rasa takut tersebut dan membentuk hubungan yang kokoh dan saling mengasihi.
Tentu saja semua efek dari perceraian saling berhubungan dan tentunya efek dari perceraian orang tua dapat  menjadi penyebab perilaku anak di kemudian hari. Dukungan dari orang tua yang bercerai terhadap anak sangat diperlukan dalam mendukung perkembangan anak di melewati masa ini.
·         Tinggal dengan Keluarga Single-Parent
Keluarga single-parent dapat berasal dari perceraian, orang tua yang tidak menikah atau kematian salah satu orang tua. Menurut penelitian, anak-anak yang tinggal dengan orangtua tunggal cenderung menjadi tertinggal secara sosial dan pendidikan dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua yang lengkap.
Biasanya anak yang tinggal dengan kedua orang tua lebih banyak berinteraksi dengan orang tua mereka, sehingga mereka lebih sering membaca, berkembang lebih stabil,  dan aktif di sekolah  dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan  salah satu orang tuanya saja. Tidak terelakkan lagi banyak dampak negatif dari anak dengan orang tua tunggal dalam masa perkembangan anak usia tengah. Contohnya dalam tahap perkembangan psikososial anak .
Perlu diketahui bahwa tingkat kemampuan orang tua yang mengasuh anaknya sendiri dalam memenuhi kebutuhan keluarganya berperan sangat penting. Hal ini dapat berdampak kepada perkembangan, perilaku, dan prestasi anak di sekolah.
Namun, sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa dengan kebijakan keluarga yang mendukung disertai keadaan keluarga, baik secara finansial ataupun sosial, anak yang tinggal dengan orang tua tunggal dapat menjadi lebih mandiri dan berkembang lebih pesat dibandingkan anak yang mempunyai  dan tinggal dengan orang tua lengkap.
·         Tinggal dengan Keluarga Tiri
Keluarga tiri sangat berbeda dengan keluarga yang biasa. Keluarga tiri biasanya adalah keluarga besar yang terdiri dari sanak-sanak saudara, dan bisa memiliki hingga empat orang dewasa. Perkembangan anak pada masa usia tengah dengan orangtua tiri mereka biasanya mudah terganggu karena kebiasaan yang telah dimiliki anak dengan keluarga kandungnya.  “Kesetiaan” yang dianut anak terhadap keluarga kandungnya dapat menghambat anak dalam membangun hubungan yang baru dan intim dengan keluarga barunya. Hal ini juga berlaku kepada anak yang memiliki saudara tiri, hasil pernikahan setelah kedua orang tuanya bercerai. Biasanya sang anak akan lebih menyayangkan orang tua mereka yang menikah kembali setelah perceraian atau salah satu orang tua yang meninggal. Mereka akan sulit menerima keluarga dan orang-orang “baru” di keluarga mereka. Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa, orang tua yang menikah kembali cenderung untuk tidak memberlakukan pengawasan dan kedisiplinan yang ketat, dibandingkan dengan orang tua tunggal. Mereka yang diasuh oleh keluarga tiri juga cenderung tidak perlakukan sebaik mereka dari keluarga yang lengkap secara emosional,sosial dan psikologis.
Hal ini sebenarnya sangat tidak disarankan karena semakin banyak orang baru di kehidupan sang anak, sang anak semakin membutuhkan perhatian dari orang tua mereka, Perkembangan dan perilaku anak dalam lingkungan sosial anak sangat dipengaruhi oleh kebijakan orang tua dalam membagi waktu, memberi perhatian, dan menjelaskan kepada anak bagaimana struktur keluarga barunya saat ini.
·         Tinggal dengan Keluarga Gay atau Lesbian
Beberapa orang tua gay atau lesbianbiasanya membesarkan anak yang dilahirkan dari hubungan heteroseksual sebelumnya,menganduung dengan cara buatan ataupun dengan mengadopsi anak.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat perkembangan anak yang dibesarkan orangtua gay/lesbian. Penelitian inimencakup penelitian akan kesehatan fisik, emosional,kecerdasan, penyesuaian, kesadaran anak akan dirinya (self concept), dan fungsi sosial. Penelitian-penelitian menunjukkan tidak adanya kekhawatiran yang signfikan dalam hal ini.
Orang tua yang gay/lesbiansecara terbuka biasanya memiliki hubungan yang positif dengan anak-anak mereka dan bila dibandingkan dengan anak yang dibesarkan oleh orang tua heteroseksual cenderung sama dan tidak memiliki masalah sosial/ psikologis. Namun ada kemungkinan kecil bagi anak-anak  dengan orang tua gay/lesbian untuk menjadi homoseksual.
Dalam menghadapi kontroversi pernikahan homoseksual dengan implikasi untuk keamanan anak-anak, agar anak dapat berkembang dengan baik dengan adanya keluarga yang mendukung,dibeberapa negara telah mempertimbangkan perundang-undangan yang merestui adopsi untuk pernikahan sesama jenis. Hal ini dikarenakan banyaknya pasangan sesama jenis yang dulunya telah memiliki anak dari hubungan heteroseksual mereka dan ingin tetap mengambil tempat di dalam kehidupan anak dan turut membesarkannya.

c.    Hubungan Persaudaraan
Hubungan antara anak dengan saudara-saudara adalah hal selanjutnya yang dinilai penting dalam perkembangan psikososial anak. Pada anak masa usia tengah, di mana anak diyakini orang tua sudah cukup matang dalam mengemban tugas-tugas dan tanggung jawab ringan, sering diajari orang tuanya untuk menjaga saudara yang lebih kecil. Anak yang lebih kecil diajarkan untuk menghormati kakak atau abang-abangnya, sedangkan anak yang lebih besar diajarkan untuk menjaga sang adik, bermain dengan adik, membantu orang tua, dan sebagainya. Dalam lingkungan sosial saat ini, orang tua mencoba untuk tidak membebankan tugas-tugas tersebut kepada anak-anak mereka.
Jumlah saudara, perbedaan usia, dan jenis kelamin menunjukkan peran dan hubungan di antara saudara. Semakin banyak anak di dalam keluarga dengan lingkungan sosial yang berkembang, maka semakin banyak pula bantuan yang dapat diberikan anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah orang tuanya. Di lingkungan sosial yang telah berkembang, biasanya anak di dalam keluarga tidak banyak dan lebih memiliki rentang usia yang jauh sehingga pola pengasuhan orang tua dapat dimaksimalkan.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa, hubungan saudara akan mulai tampak ketika anak memasuki masa usia tengah yaitu berumur 7 atau 9  tahun. Biasanya hubungan yang tampak dapat berupa kasih sayang, cemburu, atau pun kompetisi pada diri anak terhadap saudaranya. Hal ini sangat bergantung kepada bagaimana orang tua mengasuh anak sehingga anak dapat memberi respon positif kepada saudaranya.
Hubungan persaudaraan adalah sebuah hubungan yang baik dalam mengajarkan cara menyelesaikan konflik. Biasanya, saudara yang bertengkar akan diajarkan (secara langsung maupun tidak langsung) untuk berdamai dengan saudaranya karena mereka akan bertemu setiap hari.
Saudara juga mempengaruhi perkembangan anak masa usia tengah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak kedua cenderung memiliki kepribadian yang sama dengan anak sulung dalam hal berperilaku, kepribadian, dan aktivitas-aktivitas lain. Anak sulung lebih dipengaruhi oleh orang tua.
Persaudaraan mempengaruhi satu sama lain, tidak hanya secara langsung, yaitu melalui interaksi mereka, tetapi juga tidak langsung, yaitu dari efek hubungan saudara-saudara mereka dengan orang tua mereka. Contohnya, pengalaman orang tua dalam mengasuh anak pertama mempengaruhi harapan dan pengasuhan mereka terhadap anak kedua.
d.  Hewan Peliharaan
Hewan peliharaan dinilai berperan penting pada perkembangan kepribadian anak masa usia tengah. Keluarga yang memiliki anak masa sekolah, cenderung mempunyai hewan peliharaan saat ini.
Hewan peliharaan dapat berkontribusi pada teori Erikson tentang basic trust dan membantu anak dalam menghadapi tantangan sosial. Anak-anak pada masa usia tengah sangat mudah membangun kepercayaan pada hewan peliharaan mereka dan mereka akan memperlakukan hewan mereka sebagai suatu dukungan atau motivasi positif terhadap emosi mereka. Memelihara hewan mengajarkan anak akan rasa empati, saling menyayangi, dan tanggung jawab terhadap sesama. Anak-anak juga cenderung memilih untuk berbagi cerita dan bermain dengan hewan peliharaan mereka setelah suatu kejadian yang membuat mereka malu atau sedih.
DAFTAR PUSTAKA
Papalia, Diane E., et al.Human Developement: Tenth Edition.New York: McGraw-Hill Book Company,2007.
Santrok, John W. Life Span Development: Twelfth Edition.New York: McGraw-Hill Book Company,2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar